Diteken atau Tidak Diteken Presiden, UU Berlaku
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja menyatakan, menurut konstitusi pembentukan undang-undang dilakukan atas persetujuan Presiden dan DPR. Dan utusan Presiden yang tertulis dalam surat presiden (Supres) adalah Mendagri pada saat pembahasan RUU Pilkada dan datang menghadiri raker yang pertama dan i Rapat Paripurna /Pengambilan Keputusan. Artinya secara yuridis formal pemerintah telah setuju.
“ Kalau sudah disetujui, maka dalam waktu 30 hari setelah dikirimkan oleh DPR ke Presiden, otomatis UU berlaku, baik ditandatangani oleh Presiden maupun tidak diteken oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Jadi secara administratif tidak ada kewenangan untuk menolak,” kata Hakam yang juga Ketua Panja RUU Pilkada kepada pers, Selasa (30/9)
Ditemui menjelang Sidang Paripurna DPR terakhir anggota DPR periode 2009-2014, Hakam mengatakan, kalau Pemerintah tidak setuju bisa disampaikan di Rapat Paripurna atau di raker, seperti halnya RUU Pertanahan . “ Jadi sekarang sudah jadi bubur, sudah selesai. Satu-satunya adalah di MK, untuk menguji UU yang diputuskan DPR dan Presiden,” katanya.
Terhadap usulan untuk mengembalikan UU ke DPR, Hakam mengatakan tidak ada mekanisme mengembalikan UU. Tidak ada, bisa dilihat di konstitusi bahwa UU diputuskan atas persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Maka forum penolakan ada di dua tempat yaitu di pembicaraan tk I dan pengambilan keputusan/pembicaraan tingkat II. “ Itulah kesempatan untuk menarik atau tidak setuju atas UU,” tegasnya.
Mengenai usulan dikeluarkannya Perpu, kata Hakam Naja, Perpu itu nanti diundangkan pada masa persidangan berikutnya untuk persetujuan atau penolakan dari DPR. Artinya dikembalikan lagi ke DPR, sesuai konstitusi.“ Jadi bisa saja dikeluarkan Perpu, kemudian pada masa sidang berikutnya DPR bersikap, setuju atau tidak setuju,” ia menegaskan.
Lebih lanjut Hakam Naja mengatakan, perdebatan pilkada sudah terjadi saat amandemen UUD 45 lalu dimana dua pendapat pilkada langsung dan lewat DPRD cukup kuat. Setelah berdebat lama disetujui formula pasal 18 ayat 4 bahwa pemilihan umum memilih bupati, walikota, gubernur dipilih secara demokratis. “ Rumusan itu merupakan win-win solution, sehingga hampir pasti gugatan di MK akan ditolak lagi karena catatan di dalam proses pembuatan konstitusi seperti itu,” katanya.
Rumusan amandemen UUD 45 tersebut, ungkap Hakam Naja, sudah sangat jelas, ceto welo-welo karena demokratis itu kompromi dari perdebatan yang bertahun-tahun antara yang pro langsung dan pro lewat DPRD. Dan komposisinya kalau jujur berbalik, yang dulu saat amandemen mendorong pilkada langsung sekarang pilih lewat DPRD, yang dulu lewat DPRD sekarang dukung langsung. Itu demokratis, dan yang mengusulkan dari Pimpinan Fraksi PDIP MPR.
“ Ini sejarah yang harus kita sampaikan apa adanya. Jadi gugatan di MK juga akan melihat proses perubahan UUD 45 seperti apa. Kenapa muncul dalam pasal 18 ayat 4 itu kata-kata demokratis. Demokratis itu bisa langsung dan bisa melalui DPRD,” ujar Hakam menambahkan. (mp) foto: naefuroji/parle/eka hindra